:::: MENU ::::
  • Jikalau Dunia Terus Menempamu, Tampanlah!

  • Knowledge Speaks, But Wisdom Listen.

  • The More I See, The Less I Know.




Sudah hampir tiga minggu kita melalui sebuah event besar di Kota Solo apalagi kalau bukan Rock in Solo, masih terngiang suara Nergal di telinga saya, meninggalkan rasa kaku di sekujur leher saat pulang menaiki bus minggu malam itu.

Kenapa saya masih membahas Rock In Solo sampai sekarang... wah admn pro sama panitia RIS nih.. Bukan... Saya pro sama semua event cadas dan extreme di seluruh nusantara .. hellyeaah ... Karena artikel soal Rock In Solo banyak tersedia, sehingga saya bisa membaca, menulis dan mencopas ulang untuk kalian semua. Lalu apa yang dibahas kali ini. Ini adalah sebuah tulisan, cerita dari seorang yang benar - benar ikut andil dalam terselenggaranya Rock In Solo . Dari sedikit tulisannya, saya bisa merasakan bagaimana beratnya, kerasnya usaha para panitia dari RIS ini. Awesome ... Udah sana baca aja sendiri :p



Ditulis oleh : unclebowl  di blog pribadinya klik dimari kalo mo mampir

Solo, pertengahan 2013.

Siang itu saya dapat kabar kalau Lamb Of God akan tur Asia dan bakal mampir ke Indonesia. Beberapa minggu kemudian, kabar itu menggila. Salah satu promotor di Jakarta menawarkan Randy Blythe cs ke Rock In Solo. Beberapa kawan menyambut antusias. Penawaran itu kami terima. Beberapa waktu kemudian, kontrak diteken. Lamb Of God bersedia tampil di Solo, atau lebih tepatnya, di Rock In Solo 2013.

Solo, pertengahan 2004.

Saya masih mengingat malam itu dengan sangat jelas. Malam yang panas di GOR Manahan, Solo. Saya yang sedang jumpalitan menyelesaikan tugas akhir untuk program Diploma, mendapat kabar kalau Seringai dan The Brandals akan tampil di Solo. Senang bukan kepalang. Akhirnya ada juga band bagus yang saya sukai main di kota ini. Belakangan saya tahu kalau mereka dan Tengkorak menjadi headliner di sebuah acara yang bernama Rock In Solo. Hari H, dengan kaus hitam polos, jeans sempal penuh lubang dan motor bebek pinjaman, saya meluncur dan sampai di venue tepat ketika Downforlife sedang beraksi. Itulah awal perkenalan saya dengan Rock In Solo.



Solo, Pertengahan 2013.

Persiapan untuk Rock In Solo 2013 mulai dilakukan. Tanggal dan venue sudah dipilih. Beberapa divisi bekerja lebih awal. Lalu berita buruk itu datang. Lamb Of God baru bisa hadir di Solo pada hari H dengan jam kedatangan yang sangat mepet karena terkendala jadwal penerbangan yang tersedia. Kalau pun dipaksakan, konser mereka hanya akan menjadi konser tunggal. Saat itu kami dihadapkan pada pilihan, menyelenggarakan konser tunggal Lamb Of God atau memundurkan tanggal Rock In Solo dengan headliner yang berbeda. Tanpa ragu kami pilih opsi yang kedua. Karena sebuah band tidak pernah lebih besar dari Rock In Solo itu sendiri.

Jakarta, sepertiga akhir 2010.

Saat itu saya sudah meninggalkan Solo. Hujan sedang membasahi Jakarta sewaktu BlackBerry saya bergetar. Ada pesan singkat masuk. Seorang teman di Solo menanyakan kabar sembari menawari pekerjaan: menjadi video jockey di Rock In Solo yang tahun itu masuk edisi keempat. Pekerjaan itu tidak asing bagi saya. Setahun sebelumnya, saya sudah melakukan hal yang sama. Tawaran itu tidak langsung saya iyakan. Maklum, saldo tabungan sedang berada di papan bawah. Jangankan untuk ongkos ke Solo, untuk makan sehari-hari di warung saja harus memilih lauk yang paling murah. Titik terang datang beberapa hari kemudian. Ada satu urusan yang membuat saya harus pergi ke Solo dan waktunya berdekatan dengan Rock In Solo. Singkat kata, saya berpartisipasi di Rock In Solo 2010. Itu kali pertama saya bekerja untuk Rock In Solo setelah sebelumnya hanya menjadi penonton.

Alun-alun Utara Solo, 17 September 2011.



Setelah selama satu bulan lebih kurang tidur mempersiapkan segala hal, hari yang dinanti datang juga. Pagi itu saya tiba di venue menumpang bus rombongan Kataklysm yang akan berangkat soundcheck. Tiba di venue, suasana sudah ramai meski gate belum dibuka. Teman-teman panitia sudah sibuk di pos yang sesuai dengan divisinya masing-masing. Beberapa pontang-panting menyiasati deadline dari tugasnya, wajah lelah tampak dimana-mana. Hingga gate dibuka dan acara dimulai, saya masih belum sempat berganti pakaian. Kaus Motley Crue saya mulai basah oleh keringat. Inilah untuk pertama kalinya saya masuk ke ring satu Rock In Solo. Divisi Media dan Propaganda, itu nama yang seketika saya pilih ketika dipasrahi tugas mengelola divisi pemberitaan di Rock In Solo. Menjadi penonton di beberapa edisi pertama, kini saya menyatu dengan Rock In Solo.

The Garage Garden beerhouse, Solo, beberapa hari sebelum Idul Fitri 1824 H, 2013.

Siang hari, jendela notifikasi di handphone saya berkedip menandakan ada pesan baru di WhatsApp. Isinya ajakan rapat untuk Rock In Solo 2013. Malam harinya, saya datang ke lokasi yang sudah ditentukan. Beerhouse yang terletak di tengah kota itu sudah dipenuhi wajah-wajah yang saya kenal. Rapat pun dimulai. Opini-opini disuarakan, fakta-fakta dibeberkan, argumen saling-silang berseliweran dan semua sibuk mengkalkulasi setiap kemungkinan. Semua sibuk membahas satu hal: Rock In Solo yang sedang berada di persimpangan. Faktor finansial menjadi kerikil yang menyandung langkah kami semua.

Mendekati akhir rapat, kami membentuk sebuah lingkaran kecil. Masih ada satu hal lagi yang harus diselesaikan. “Kalian siap bekerja untuk Rock In Solo 2013 tanpa dibayar?”, pertanyaan itu akhirnya mengemuka. Saya memandang setiap orang yang merubung sebuah meja kecil persegi di hadapan kami sambil tanpa sadar menahan nafas. Semua mengangguk hampir berbarengan, mantap dan tulus. Palu sudah diketuk. Keputusan itu bulat. Kami semua siap bekerja di Rock In Solo 2013 tanpa dibayar. Silahkan ambil waktu dan tenaga kami. Kami siap

.

Lapangan Kota Barat, Solo. 3 November 2013.

Rock In Solo 2013 sudah memasuki hari kedua. Malam itu saya sedang berada di area Media Centre. Jeda Maghrib baru saja disudahi. ((Auman)) sedang bersiap di belakang panggung. Beberapa saat kemudian, terdengar suara MC yang mempersilahkan penonton untuk kembali menikmati sajian di hari terakhir Rock In Solo 2013. Saya yang sedang fokus dengan pekerjaan dan membelakangi panggung, tidak menyadari kalau ada kejadian besar yang sedang berlangsung di belakang saya. Hingga akhirnya Anggi, fotografer Rock In Solo, menyuruh saya untuk menengok ke belakang. Apa yang saya lihat kemudian mendirikan bulu roma.

Tampak ribuan penonton maju ke depan panggung. Mereka membentuk satu gelombang gigantik yang seolah siap untuk menelan panggung. Insting pertama saya adalah mengabari rekan-rekan lain via handy talkie untuk mengetatkan keamanan. Penonton dalam jumlah besar bisa menjadi potensi bahaya kalau tidak dikontrol. Penonton malam ini hampir tiga kali lipat dari malam sebelumnya. Lebih baik mencegah daripada mengobati. Setelah semuanya selesai dikoordinasi, saya baru sadar kalau gelombang massa belum juga berhenti merangsek ke arah panggung. Saya ternganga. Lukas Hambudi, kepala keamanan Rock In Solo, tiba-tiba sudah di belakang saya. Dari suaranya yang bergetar, saya bisa mendengar kalau ia meresonansikan kegembiraan. “Penontonnya banyak sekali, kita berhasil,” katanya dalam bahasa Jawa. Perlahan saya merasakan ada sesuatu yang hangat di pelupuk mata saya. Air mata. Saya menoleh ke arah Stephanus Adjie, penggagas sekaligus Ketua Dewan Syuro Rock In Solo yang berada di depan saya. Adjie tampak menunduk dan menutupi mukanya dengan tangan. Ia menangis terharu.



Solo, pertengahan November 2013.

Dua minggu sudah berlalu sejak helatan Rock In Solo 2013: New World Propaganda. Tahun depan, Rock In Solo akan memasuki tahun kesepuluh dan edisi kedelapannya. Dapat bertahan selama satu dasawarsa bukanlah perkara yang mudah. Berawal dari sebuah pergelaran di gedung olahraga hingga dapat dinikmati di stadion dan alun-alun kota, Rock In Solo telah berkembang menjadi sesuatu yang bahkan tidak pernah terpikirkan para pendirinya di awal. Dari sebuah event skala lokal yang menghabiskan dana puluhan juta hingga menjadi sebuah main event kota dengan budget mendekati sepuluh digit, mengorganisir Rock In Solo tidaklah pernah gampang.

Di kota seperti Solo, dimana kata ‘budaya’ selalu diasosiasikan sebagai cipta, rasa dan karsa yang berkonotasi kontemporer dan tradisional, membuat pergelaran musik cadas menjadi seperti anak tiri. Tidak diakui keberadaannya tapi selalu hadir dan mengganggu. Tanpa akte kelahiran tapi dicatat dalam sejarah. Dan sejarah itu milik kalian. Sampai jumpa tahun depan!

 

0 comments:

Post a Comment

Mau Balik Ke Atas Gan? Males Scroll? Klik ini